Selasa, 16 Februari 2016

MEDIASI PENAL SEBAGAI LANGKAH MAJU DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN


1. LATAR BELAKANG
Penegakan hukum selalu melibatkan manusia di dalamnya dan melibatkan juga tingkah laku manusia. Hokum tidak dapat tegak dengan sendirinya, artinya hokum tidak mampu mewujudkan sendiri janji – janji serta kehendak – kehendaknya yang tercantum dalam peraturan hokum. Hokum dibuat untuk dilaksanakan, hokum tidak dapat lagi disebut sebagai hokum apabila hokum tidak pernah dilaksanakan. Oleh karena itu, hokum dapat disebut dengan konsisten dengan pengertian hokum sebagai sesuatu yang harus dilaksanakan.
Penegakan hokum merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan nilai, ide, cita yang cukup abstrak yang mnejadi tujuan hokum. Tujuan hokum atau cita hokum memuat nilai – nilai moral, seperti keadilan dan kebenaran. Nilai – nilai tersebut harus mampudiwujudkan dalam realitas nyata. Eksistensi hokum diakui apabila nilai – nilai moral yang terkandung didalamnya mampu diimplementasikan.
Penegakan hokum sebagai sarana untuk mencapai tujuan hokum, maka sudah semestinya seluruh energy dikerahkan agar hokum mampu bekerja untuk mewujudkan nilai – nilai moral dalam hokum. Kegagalan hokum untuk mewujudkan nilai hokum tersebut merupakan ancaman bahaya akan merosotnya eksistensi hokum yang ada. Masalah penegakan hokum merupakan masalah yang tidak sederhana bukan saja karena kompleksitas sistem hokum itu sendiri, tetapi juga rumitnya jalinan hubungan hokum dengan social, politik, ekonomi, budaya yang hidup didalam masyarakat saat ini.
Penegakan hokum pada hakikatnya mengandung supremasi nilai substansial, yaitu keadilan. Namun semenjak hokum modern digunakan, pengadilan bukan lagi tempat untuk mencari keadilan ( searching of justice ). Pengadilan hanya menjadi tempat yang berkutat dengan aturan main dan prosedur, begitu lembaga kepolisian, hokum tidak lagi dapat menyediakan keadilan yang menjadi cita – cita dari tujuan hokum selama ini.
Keadilan telah mati dibawah hokum modern yang ada, hokum hanya dipahami sebagai produk Negara yang harus dipatuhi yang dibuat dalam bentuk peraturan – peraturan, terlebih dalam hokum pidana, setiap tindakan pelanggaran hokum selalu memiliki sanksi yang tertulis didalam perundang – undangan.
Dalam masyarakat, selalu terjadi interaksi satu dengan yang lainnya, kehidupan bersama itu perlu adanya aturan yang mengatur interaksi tersebut, agar hubungan interaksi tidak merugikan satu dan yang lainnya, untuk itu perlu adanya aturan hokum. Manusia selalu berusaha untuk meciptakan suasana tertib, aman dan damai. Oleh karena itu keseimbangan yang terganggu tersebut segera dipulihkan dan diselesaikan dengan prosedur hokum.
Sehubungan dengan konflik dan gangguan yang terjadi dalam kehidupan manusia tersebut, maka penyelesaian harus dilakukan sesuai dengan prosedur hokum, namun dalam kenyataan dilapangan hak itu tidaklah mudah untuk dilakukan dan dilaksanakan, banyak kasus atau peristiwa hokum diselesaikan tidak sesuai dengan proses hokum, terutama hokum pidana.
Hokum pidana merupakan sebagian daripada keseluruhan hokum yang berlaku disuatu Negara yang mengatur dasar – dasar aturan untuk :
1.      menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dengan  disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertantu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
2.      Menentukan kapan dan dalam hal – hal apa kepada mereka yang melanggar larangan – larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang diancamkan.
3.      Menentukan dengan cara bagaiamana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan  apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.[1]
Meskipun berdasarkan aturan hokum pidana yang hidup di Indonesia saat ini menganut asas legalitas dan dalam penegakannya mengacu kepada hokum pidana formil yang telah ada, penegakan hokum pidana yang sejalan dengan hokum pidana tidak mampu menjawab tantangan zaman dan perkembangan social yang hidup didalam masyarakat saat ini.
Ketimpangan hokum selalu menjadi isu hangat dalam penegakan hokum pidana dewasa ini, masyarakat selalu mengeluhkan proses penegakan hokum yang hanya bertumpuh kepada aturan – aturan yang ada dan terkadang merusak nilai – nilai keadilan menurut masyarakat. Disamping sering ditemukan penegakan hokum yang tidak ada persamaan perlakuan dimasyarakat oleh aparat penegak hokum, aparat penegak hokum juga dinilai tidak mencerminkan nilai – nilai keadilan.
Sejalan dengan perkembangan masyarakat dan terus terjadinya perubahan social, teknologi, politik dan pendidikan, penegakan hokum diharapkan mampu diwujudkan dengan cara – cara yang lebih manusiawi dan elegan serta bertumpuh kepada jati diri bangsa Indonesia yaitu pancasila dan UUD 1945, dengan demikian maka tujuan hokum untuk memberikan rasa adil dan kepastian hokum serta keamanan, ketertiban dan kedamaian mampu diwujudkan.
Mediasi penal ( mediasi pidana ) dapat menjadi sebuah alternative penyelesaian kasus hokum / perkara pidana yang terjadi, meskipun secara eksplisit hokum pidana Indonesia tidak mengenal atau tidak menganut sistem mediasi, dan juga tidak adanya aturan hokum yang mengatur adanya mediasi pidana saat ini, hal itu seharusnya bukanlah suatu permasalahan yang menjadi alas an tidak dikedepankannya mediasi yang menganut cara – cara musyawarah dalam penyelesaian perkara pidana.
Jika kita menyimak kembali nilai – nilai moral yang terkadung dalam pancasila, maka kita akan memahami bahwa sesuai dengan nilai – nilai moral yang terkandung didalamnya kita memiliki sebuah cirri khas yaitu musyawarah dan mufakat.
Pancasila sebagai dasar /pedoman serta pandangan hidup bangsa sudah seharusnya menjadi pijakan bersama dalam melakukan segala hal, begitu juga dengan penegakan hokum didalam hokum pidana Indonesia.
Mediasi penal menurut barda nawawi arief merupakan salah satu bentuk alternative penyelesaian sengketa diluar pengadilan berupa ADR atau yang dikenal dengan istilah “alternative dispute resolution” atau dalam perdata disebut “ out of court settlement. Mediasi penal law merupakan “the Thir way “ atau “Third path” dalam upaya “ Crime control and the criminal justice system” yang digunakan beberapa Negara.[2]
ADR memang pada umumnya digunakan pada kasus – kasus hokum perdata, tidak untuk kasus 0 kasus hokum pidana. Berdasarkan perundang – undangan yang berlaku di Indonesia saat ini ( hokum Positif ) pada prinsipnya kasus pidana tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan walaupun dalam hal – hal tertentu dimungkinkan adanya penyelesaian kasus pidana diluar pengadilan.
Berdasarakan uraian diatas penulis mengambil penelitian dan membuat makalah dengan judul “MEDIASI PENAL SEBAGAI PROGRESIFITAS ( LANGKAH MAJU ) DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA”.
2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas penulis merumuskan permasalahan yang akan dikaji antara lain :
1.      APAKAH MEDIASI PENAL SESUAI DENGAN PANDANGAN HUKUM PROGRESIF DALAM HUKUM PIDANA.
2.      MEDIASI PENAL SEBAGAI PROGRESIFITAS ( LANGKAH MAJU ) DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA.


BAB II
PEMBAHASAN
1. Mediasi Penal Dan  Pandangan Hukum Progresif Dalam Hukum Pidana Indonesia
Masalah mediasi dalam perkara pidana sudah masuk dalam agenda pembahasan di tingkat international, yaitu dalam kongres PBB ke 9 tahun 1995 dan ke 10 tahun 2000 mengenai “Prevention Of Crime And Treatment Of Offenders” dan dalam konferensi international pembaharuan hokum pidana ( International Penal Law Reform Conference ) tahun 1999.[3]
Adapun latar belajang pemikirannya menurut barda nawawi arief ada yang dikaitkan dengan ide – ide pembaharuan hokum pidana ( Penal Reform ) antara lain meliputi ide perlindungan korban, ide harmonisasi, ide restorative justice, ide mengatasi kekakuan dalam sistem yang berlaku dan menghindari efek negatif dari sistem peradilan pidana.[4]
Selain itu ada yang dikaitkan dengan masalah pragmatisme, antara lain untuk mengurangi stagnasi atau penumpukan perkara untuk penyederhanaan proses peradilan.
a. Pengaturan mediasi penal di Indonesia
Pada dasarnya hukum positif di Indonesia, ADR hanya dimungkinkan dalam perkara perdata ( Pasal 6 UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase and Alternative Penyelesaian Sengketa ). Dan untuk perkara pidana pada prinsipnya tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan, walaupun dalam hal – hal tertentu dimungkinkan adanya penyelesaian perkara pidana diluar pengadilan.[5]
Walaupun pada umumnya penyelesaian sengketa di luar pengadilan hanya ada dalam sengketa perdata, namun dalam praktek sering juga kasus pidana diselesai-kan di luar pengadilan melalui berbagai diskresi aparat penegak hukum atau melalui mekanisme musyawarah/perdamaian atau lembaga permaafan yang  ada di dalam ma-syarakat (musyawarah keluarga; musya-warah desa; musyawarah adat dsb.). Praktek penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan selama ini tidak ada landasan hukum formalnya, sehingga sering terjadi suatu kasus yang secara informal telah ada penyelesaian damai (walaupun melalui mekanisme hukum adat), namun tetap saja diproses ke pengadilan sesuai hukum yang berlaku.
            Dalam perkembangan wacana teoritik mau-pun perkembangan pembaharuan hukum pidana di berbagai negara, ada kecende-rungan kuat untuk menggunakan mediasi pidana/penal sebagai salah satu alternatif penyelesaian masalah di bidang hukum pidana. Menurut Prof. Detlev Frehsee, meningkatnya penggunaan restitusi dalam proses pidana menunjukkan, bahwa perbe-daan antara hukum pidana dan perdata tidak begitu besar dan perbedaan itu menjadi tidak berfungsi [6].

1.    Mediasi pidana yang dikembangkan itu ber-tolak dari ide dan prinsip kerja (working principles) sebagai berikut : [7]
a.     Penanganan konflik (Conflict Handling/ Konfliktbearbeitung):
Tugas mediator adalah membuat para pihak melupakan kerangka hukum dan mendorong mereka terlibat dalam proses komunikasi. Hal ini didasarkan pada ide, bahwa kejahatan telah menimbulkan konflik interpersonal. Konflik itulah yang dituju oleh proses mediasi.
b.     Berorientasi pada proses (Process Orientation; Prozessorientierung):
Mediasi penal lebih berorientasi pada kualitas proses daripada hasil, yaitu : menyadarkan pelaku tindak pidana akan kesalahannya, kebutuhan-kebutuhan konflik terpecahkan, ketenangan korban dari rasa takut dsb.
c.     Proses informal (Informal Proceeding - Informalität):
Mediasi penal merupakan suatu proses yang informal, tidak bersifat birokra-tis, menghindari prosedur hukum yang ketat.
d.      Ada partisipasi aktif dan otonom para pihak (Active and Autonomous Partici-pation - Parteiautonomie/Subjektivie-rung)
Para pihak (pelaku dan korban) tidak dilihat sebagai objek dari prosedur hu-kum pidana, tetapi lebih sebagai subjek yang mempunyai tanggungjawab pribadi dan kemampuan untuk berbuat. Mereka diharapkan berbuat atas kehendaknya sendiri.
b. Perkembangan Dan Latar Belakang Ide Adr – Mediasi Penal
Ide atau wacana dimasukkannya ADR dalam penyelesaian perkara pidana, antara lain terlihat dari perkembangan sebagai berikut :
a.     Dalam dokumen penunjang Kongres PBB ke-9/1995 yang berkaitan dengan manaje-men peradilan pidana (yaitu dokumen A/CONF.169/6) diungkapkan perlunya se-mua negara mempertimbangkan “priva-tizing some law enforcement and justice functions” dan “alternative dispute resolu-tion/ADR” (berupa mediasi, konsiliasi, res-titusi, dan kompensasi) dalam sistem per-adilan pidana. Khususnya mengenai ADR, dikemukakan dalam dokumen itu sbb. :
“The techniques of mediation, consi-liation and arbitration, which have been developed in the civil law environment, may well be more widely applicable in criminal law. For example, it is possible that some of the serious problems that complex and lengthy cases involving fraud and white-collar crime pose for courts could by reduced, if not entirely eliminated, by applying principles deve-loped in conciliation and arbitration hearings. In particular, if the accused is a corporation or business entity rather than an individual person, the funda-mental aim of the court hearing must be not 21to impose punishment but to achieve an outcome that is in the interest of society as a whole and to reduce the probability of recidivism”.

Menurut kutipan di atas, ADR yang telah dikembangkan dalam lingkungan hukum perdata, seyogyanya juga dapat diterapkan secara luas di bidang hukum pidana. Dicon-tohkan misalnya, untuk perkara-perkara pidana yang mengandung unsur “fraud” dan “white collar-crime” atau apabila terdak-wanya adalah korporasi/badan usaha. Ditegaskan pula, bahwa apabila terdakwa-nya adalah korporasi/badan usaha, maka tujuan utama dari pemeriksaan pengadilan seharusnya tidaklah menjatuhkan pidana, tetapi mencapai suatu hasil yang berman-faat bagi kepentingan masyarakat secara menyeluruh dan mengurangi kemungkinan terjadinya pengulangan (recidive).
b.     Dalam laporan Kongres PBB ke-9/1995 tentang “The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders” (dokumen A/CONF. 169/16), antara lain dikemukakan :
-      untuk mengatasi problem kelebihan mu-atan (penumpukan perkara) di penga-dilan, para peserta kongres mene-kankan pada upaya pelepasan bersya-rat, mediasi, restitusi, dan kompensasi, khususnya untuk pelaku pemula dan pelaku muda (dalam laporan No.112);

-      Ms. Toulemonde (Menteri Kehakiman Perancis) mengemukakan “mediasi penal” (penal mediation) sebagai suatu alternatif penuntutan yang memberikan kemungkinan penyelesaian negosiasi antara pelaku tindak pidana dengan korban. (dalam laporan No. 319);

c.      Dalam ”International Penal Reform Confe-rence” yang diselenggarakan di Royal Holloway College, University of London, pada tanggal 13-17 April 1999 dikemu-kakan, bahwa salah satu unsur kunci dari agenda baru pembaharuan hukum pidana (the key elements of a new agenda for penal reform) ialah perlunya memperkaya sistem peradilan formal dengan sistem atau mekanisme informal dalam penyelesaian sengketa yang sesuai dengan standar-standar hak asasi manusia (the need to enrich the formal judicial system with informal, locally based, dispute resolution mechanisms which meet human rights standards).
Konferensi ini juga mengidentifikasikan sembilan strategi pengembangan dalam melakukan pembaharuan hukum pidana, yaitu mengembangkan/ membangun :
1.      Restorative justice
2.      Alternative dispute resolution
3.      Informal justice         
4.      Alternatives to Custody
5.      Alternative ways of dealing with juveniles
6.      Dealing with Violent Crime
7.      Reducing the prison population
8.      The Proper Management of Prisons
9.      The role of civil society in penal reform

d.      Pada 15 September 1999, Komisi Para Menteri Dewan Eropa (the Committee of Ministers of the Council of Europe) telah menerima Re-commendation No. R (99) 19 tentang “Mediation in Penal Matters.

e.      Dalam Deklarasi Wina, Kongres PBB ke-10/2000 (dokumen A/CONF. 187/4/Rev.3), antara lain dikemukakan bahwa untuk memberikan perlindungan kepada korban kejahatan, hendaknya diintrodusir mekanis-me mediasi dan peradilan restoratif (resto-rative justice). 

f.       Pada 15 Maret 2001, Uni Eropa membuat the EU Council Framework Decision ten-tang “kedudukan korban di dalam proses pidana” (the Standing of Victims in Criminal Proceedings) -  EU (2001/220/JBZ) yang di dalamnya termasuk juga masalah mediasi. Pasal 1 (e) dari Framework Decision ini mendefinisikan “mediation in criminal cases” sebagai : ‘the search prior to or during criminal proceedings, for a nego-tiated solution between the victim and the author of the offence, mediated by a com-petent person’. Pasal 10-nya menyatakan, setiap negara anggota akan berusaha “to promote mediation in criminal cases for offences which it considers appropriate for this sort of measure”. Walaupun Pasal 10 ini terkesan hanya memberi dorongan (encouragement), namun menurut Anne-mieke Wolthuis [8], berdasarkan penjelasan di dalam website Uni Eropa, negara anggota wajib  mengubah UU dan hukum acara pidananya, antara lain mengenai “the right to mediation”.

g.      Pada tanggal 24 Juli 2002, Ecosoc (PBB) telah menerima Resolusi 2002/12 mengenai Basic Principles on the Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters” yang di dalamnya juga mencakup masalah mediasi.[9]


b.     Teori Hukum Progresif  ( SATJIPTO RAHARDJO )
Teori hukum progresif Satjipto Rahardjo berawal dari kegelisahannya, bahwa setelah 60 tahun usia Negara Hukum. Terbukti tidak kunjung mewujudkan suatu kehidupan hukum yang lebih baik. Dengan keprihatinannya ia berkata “ Saya merasakan suatu kegelisahan sesudah merenungkan lebih dari enam puluh tahun usia Negara Hukum Republik Indonesia. Berbagai rencana nasional telah dibuat untuk mengembangkan hukum di negeri ini, tetapi tidak juga memberikan hasil yang memuaskan, bahkan grafik menunjukan telah terjadi tren yang menurun,  Orang tidak berbicara tentang kehidupan hukum yang makin bersinar, melainkan sebaliknya, kehidupan hukum makin suram”.
Bertolak dari kenyataan pahit mengenai kehidupan dan peranan hukum yang ia konstatir maka muncullah keinginan untuk kembali kepada fundamental hukum di negeri ini. Bahkan almarhum memikirkan tentang kemungkinan adanya kekeliruan  atau kekurangtepatan dalam memahami ( Understanding) fundamental hukum tersebut sehingga almarhum menegaskan adanya perkembangan hukum tidak dapat diarahkan kepada yang benar.
Inti dari pernyataan satjipto rahardjo diatas adalah bahwa hukum dalam kenyataan sesungguhnya merupakan perilaku yang dicontohkannya dengan kasus Millie Simpson dan kisah sepucuk surat orang jepang kepada sesama kawan bisnisnya orang Indonesia.
Padangan satjipto rahardjo mengenai karakteristik dan fungsi serta peranan hukum dalam pembangunan oleh satjipto rahardjo dibedakan dalam dua hal yaitu, Pertama , hukum selalu ditempatkan untuk mencari landasan pengesahan atau suatu tindakan yang memegang teguh cirri procedural dari dasar hukum dan dasar peraturan. Karakteristik Kedua hukum dalam pembangunan adalah sifat instrumental yang dipandang oleh satjipto telah mengalami pertukaran dengan kekuatan – kekuatan diluar hukum sehingga hukum menjadi saluran untuk menjalankan keputusan politik atau menurut beliau, hukum sebagai sarana perekayasaan social. Satjipto rahardjo telah merinci hal tersebut sebagai berikut :
1.    Hukum ditujukan untuk memantapkan dan mengamankan pelaksanaan pembangunan dan hasil – hasilnya.
2.    Hukum memberikan dukungan dan pengarahan kepada upaya pembangunan untuk mencapai kemakmuran untuk mencapai kemakmuran yang adil dan merata.
3.    Hukum menumbuhkan dan mengembangkan disiplin nasional dan rasa tanggung jawab social pada setiap anggota masyarakat.
4.    Hukum menciptakan iklim dan lingkungan yang mendorong kreativitas dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan serta mendukung stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Pendapat Satjipto Rahardjo tentang hukum sebagai suatu sarana perekayasa social juga merupakan Fungsi dan peranan hukum sebagai sarana rekayasa birokrasi.
Pandangan teori hukum progresif menurut Satjipto Rahardjo merupakan suatu penjelajahan suatu gagasan yang berintikan 9 ( Sembilan ) pokok pikiran sebagai berikut :
1.    Hukum menolak tradisi analytical jurisprudence atau rechtdogmatick dan berbagai  paham dengan aliran seperti legal realism, freirechtslehre, sociological jurisprudence, interressenjurispridenz di jerman, teori hukum alam dan critical legal studies.
2.    Hukum menolak pendapat bahwa ketertiban ( order ) hanya bekerja melalui institusi – institusi kenegaraan.
3.    Hukum progresif ditujukan untuk melindungi rakyat menuju kepada ideal hukum.
4.    Hukum menolak status quo serta tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang bermoral.
5.    Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera, dan membuat manusia bahagia.
6.    Hukum progresif adalah  “hukum yang pro rakyat” dan “ hukum yang pro keadilan”.
7.    Asumsi dasar hukum progresif adalah bahwa “ hukum adalah untuk manusia”, bukan sebaliknya. Berkaitan dengan hal tersebut, maka hukum tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan besar. Maka setiap kali ada masalah dalam dan dengan hukum, hukumlah yang ditinjau dan diperbaiki, bukan manusia yang dipaksakan untuk dimasukan kedalam sistem hukum.”
8.    Hukum bukan merupakan suatu institusi yang absolute dan final, melainkan sangat bergantung pada bagaimana manusia melihat dan menggunakannya. Manusialah yang merupakan penentu.
9.    Hukum selalu berada dalam proses untuk terus menerus menjadi ( Law as a process, law in the making ).
Kesembilan pokok pemikiran teori hukum progresif diatas, jika dibandingkan dengan kelima
pokok pemikiran teori hukum pembangunan, tampak persamaan dan perbedaannya. Merujuk pada keempat wujud konkrit peranan hukum dalam pembangunan oleh mochtar dan satjipto, semakin jelas bahwa kedua ahli hukum tersebut memiliki titik persamaan yaitu menghendaki agar hukum memiliki peranan jauh kedepan yaitu memberikan arah dan dorongan perkembangan masyarakat agar tercapai masyarakat yangtertib, adil, dan sejahtera. Peranan hukum bukan sekedar sebagai alat ( tools ) melainkan harus dipahami sebagai sarana ( dinamis ) untuk mencapai kemajuan peradaban masyarakat.
Pandangan kedua ahli hukum mengenai teori hukum tersebut tidak berhenti pada hukum sebagai sistem norma ( system of norms ) yang hanya bersandar pada “ rules and logic” saja melainkan juga hukum sebagai sistem perilaku ( behavior system ). Kesamaan teori hukum pembangunan dan teori hukum progresif  terletak pada fungsi dan peranan hukum dalam bekerjanya hukum dihubungkan dengan pendidikan hukum.
Satjipto Rahardjo beranjak dari pemikiran bahwa kenyataan dan pengalaman tidak bekerjanya hukum sebagai suatu sistem perilaku, dan bahwa kepentingan menusia, maka hukum tidak dapat memaksakan ketertiban kepada manusia, sebaliknya hukum yang harus ditinjau kembali dan menambahkan bahwa hukum untuk manusia bukan sebaliknya serta hukum dijalankan dengan nurani.
Serta model pemeranan hukum sedemikian dikhawatirkan menghasilkan “dark engineering” jika tidak disertai dengan hati nurani ( manusia ) penegak hukumnya.
Secara teoritis Teori hukum progresif mendasarkan pada teori hukum yang sama yaitu Sociological jurisprudence ( Roscoe Pound ) dan pragmatic legal realism ( Eugen Erlich). Namun diperkuat dengan pengaruh aliran studi hukum kritis ( critical legal studies ) yang cenderung apriori terhadap segala keadaan dan bersikap “anti-foundationalism” teori hukum ini tidak meyakini keberhasilan aliran “analytical jurisprudence” ( Austin ) dalam penegakan hukum.
Berbeda dengan teori hukum pembangunan dan pandangan Pound tentang “ Law as social engineering”, pandangan teori hukum progresif tidak secara spesifik membahas pembaharuan hukum.
Sehingga sampai saat ini tidak jelas arah tujuan pembaharuan hukum yang hendak dicapai melalui teori hukum progresif, kecuali asumsi dasar yang dibangun sebagaimana yang di uraikan :
hukum adalah untuk manusia, maka hukum bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan lebih besar setiap kali ada masalah dalam dan dengan hukum, hukumlah yang ditinjau dan diperbaiki bukan manusia yang dipaksakan untuk dimasukan ke dalam sistem hukum”.
Pandangan satjipto memiliki makna yang sangat dalam dan kuat pengaruh filsafati kemanusiaan dan pandangan ini hanya mendapat tempatnya dalam bekerjanya hukum., yang dijalankan oleh penegak hukum yang mumpuni., baik dari sudut filsafat, substansi hukum dan memang struktur kekuasaan kehakiman yang dianut mendukung kearah adagium hukum satjipto rahardjo, “ Hukum dibuat untuk manusia bukan sebaliknya
c. Landasan Konseptual hukum progresif
Studi hubungan antara konfgurasi politik dan karakter produk hukum menghasilkan tesis bahwa setiap produk hukum merupakan percerminan dari konfigurasi politik yang melahirkannya. Artinya setiap muatan produk hukum akan sangat ditentukan oleh visi kelompok dominan (Penguasa). Oleh karena itu, setiap upaya melahirkan hukum-hukum yang berkarakter responsif/populistik harus dimulai dari upaya demokratisasi dalam kehidupan politik.[10]
            Kehadiran hukum progresif bukanlah sesuatu yang kebetulan, bukan sesuatu yang lahir tanpa sebab, dan juga bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Hukum progresif adalah bagian dari proses pencarian kebenaran (searching for the truth) yang tidak pernah berhenti. Hukum progresif yang dapat dipandang sebagai konsep yang sedang mencari jati diri, bertolak dari realitas empirik tentang bekerjanya hukum dimasyarakat, berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan kualitas penegakan hukum dalam setting Indonesia akhir abad ke-20.
            Adalah keprihatinan Satjipti Rahardjo terhadap keadaan hukum di Indonesia. Para pengamat hukum dengan jelas mengatakan bahwa kondisi penegakan hukum di Indonesia sangat memprihatinkan. Pada tahun 1970-an sudah ada istilah “mafia peradilan” dalam kosakata hukum di Indonesia, pada orde baru hukum sudah bergeser dari social engineering ke dark engineering karena digunakan untuk mempertahankan kekuasaan. Pada era reformasi dunia hukum makin mengalami komersialisasi. Menurut Satjipto Rahardjo, inti dari kemunduran diatas adalah makin langkanya kejujuran, empati dan dedikasi dalam menjalankan hukum, kemudia Satjipto Rahardjo mengajukan pertanyaan, apa yang salah dengan hukum kita? Bagaimana jalan untuk mengatasinya?.[11]
            Agenda besar gagasan hukum progrsif adalah menempatkan manusia sebagai sentralitas utama dari seluruh perbincangan mengenai hukum. Dengan kebijaksanaan hukum progresif mengajak untuk memperhatikan faktor perilaku manusia. Oleh karena itu, hukum progresif menempatkan perpaduan antara faktor peraturan dan perilaku penegak hukum didalam masyarakat. Disinilah arti penting pemahaman gagasan hukum progesif, bahwa konsep “hukum terbaik” mesti diletakkan dalam konteks keterpaduan yang bersifat utuh (holistik) dalam memahami problem-problem kemanusiaan.
Dengan demikian, gagasan hukum progresif tidak semata-mata hanya memahami sistem hukum pada sifat yang dogmatic, selain itu juga aspek perilaku sosial pada sifat yang empirik. Sehingga diharapkan melihat problem kemanusiaan secara utuh berorientasi keadilan substantive
Hukum Progresif memecahkan kebuntuan itu. Dia menuntut keberanian aparat hukum menafsirkan pasal untuk memperadabkan bangsa. Apabila proses tersebut benar, idealitas yang dibangun dalam penegakan hukum di Indonesia  sejajar dengan upaya bangsa mencapai tujuan bersama. Idealitas itu akan menjauhkan dari praktek ketimpangan hukum yang tak terkendali seperti sekarang ini. Sehingga Indonesia dimasa depan tidak ada lagi dskriminasi hukum, bagi kaum papa karena hukum tak hanya melayani kaum kaya. Apabila kesetaraan didepan hukum tak bisa diwujudkan, keberpihakan itu mutlak. Manusia menciptakan hukum bukan hanya untuk kepastian, tetapi juga untuk kebahagiaan.
Menurut Satjipto Rahardjo, Penegakan hukum progresif adalah menjalankan hukum tidak hanya sekedar kata-kata hitam-putih dari peraturan (according to the letter), melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to very meaning) dari undang-undang atau hukum. Penegakan hukum tidak hanya kecerdasan intelektual, melainkan dengan kecerdasan spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum yang dilakukan dengan penuh determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa dan disertai keberanian untuk mencari jalan lain daripada yang biasa dilakukan.[12]
Hukum progresif memandang bahwa hukum itu untuk manusia. Jadi hukum untuk membahagiakan manusia, hukum untuk mengabdi untuk kepentingan manusia. Bukan manusia untuk hukum. Tetapi akademisi hukum, Sidharta, mengatakan Prof. Satjipto terutama pada tahun-tahun  akhir hayatnya menyinggung apa yang disebut deep ecology. Konsep ini mengandung arti bahwa hukum bukan lagi semata untuk manusia, tetapi untuk untuk membahagiakan semua makhluk hidup. “Itu berarti hukum untuk semua mahluk hidup,”

2. Mediasi Penal Sebagai Langkah Maju Hukum Pidana Indonesia
Pembaruan hokum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena memang pada hakikatnya ia hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan ( bagian dari politik hokum, penegakan hokum , politik hokum pidana, politik criminal, dan politik social ). Pembaruan hokum pidana juga harus berorientasi kepada nilai – nilai yang hidup didalam bangsa dan negara indonesia[13].
Salah satu yang harus menjadi agenda dalam pembaruan hokum pidana adalah regulasi yang mampu memberikan ruang secara eksplisit bagi mediasi penal sebagai instrument dalam kebijakan penegakan hokum pidana di Indonesia, mediasi penal merupakan salah satu bentuk semangat progresif dalam hokum pidana yang dapat menjadi langkah dalam penyelesaian perkara – perkara pidana. Namun memang butuh sebuah kajian yang komprehensif untuk penerapannya dalam penanganan perkara pidana yang seperti apa yang dapat ditempuh melalui jalur mediasi sebagai penyelesaian perkara pidana tersebut.
Pada kenyataannya mediasi sebenarnya dapat dijalankan dalam sistem peradilan hokum pidana, hal ini juga telah diberlakukan dibeberapa Negara, antara lain : Austria, Jerman, Belgia, Perancis, Polandia, Slovenia, Canada, Amerika Serikat, Norwegia, Denmark, dan Finlandia.[14]
Hukum yang progresif tidak menerima hokum sebagai institusi yang mutlak dan final, melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia.dalam konteks itulah hokum hokum selalu berada dalam proses untuk  terus menjadi atau berkembang. 

BAB III
KESIMPULAN
Hukum yang Progresif memiliki pemikiran yang tidak tekstual semata namun juga kontekstual, dalam pemikiran hokum progresif lebih mengarah pada kemanfaatan dan terciptanya rasa adil ditengah – tengah masyarakat. Pemikiran progresif dalam hokum juga mampu melahirkan ide – ide baru dalam rangka penegakan hokum yang mengikuti perkembangan masyarakat dan sebuah Negara.
Mediasi pidana ( medias penal ) merupakan langkah maju dalam hokum pidana, namun dalam bingkai dan kerangka hokum pidana Indonesia hal ini masih menjadi sebuah hal yang bisa dikatakan belum memiliki kekuatan hokum. Sebagai langkah maju dan pembaruan hokum pidana serta pemikiran hokum progresif mediasi penal sesungguhnya merupakan sebuah terobosan dalam hokum pidana Indonesia.
Mediasi yang memiliki nilai – nilai musyawarah dalam penyelesaian perkara sejalan dengan apa yang terkandung dalam pendangan hidup bangsa Indonesia yaitu pancasila, dan tidak menghilangkan nilai sebagai Negara hokum. Mediasi pidana juga mampu memberikan solusi yang dapat diterima kedua belah pihak yang berperkara nantinya dalam hokum pidana.
Pada akhirnya penulis menyimpulkan pemberlakuan Mediasi Penal dalam sistem hokum pidana Indonesia merupakan sejalan dengan progresifitas hukum dan hal ini juga memiliki semangat yang sama dengan jati diri bangsa Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA.
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2010

Ridwan Mansyur, Mediasi Penal Terhadap Perkara KDRT, Yayasan Gema Yustisia Indonesia, Jakarta, 2010

Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm. xiii
Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, Rangkang Education, Yogyakarta, 2010
Annemieke Wolthuis, Will Mediation in Penal Matters be mandatory? The Impact of International Standards, fp.enter.net/restorativepractices/MediationMandatory
Tercantum dalam dolumen E/2002/INF/2/Add.2, international-research-project-report2 (sbr.: internet)
Detlev Frehsee (Professor of Criminology and Criminal Law, University of Bielefeld, Germany), “Restitution and Offender-Victim Arrangement in German Criminal Law: Development and Theoretical Implications”, http://wings.buffalo.edu/law/ bclc/bclr.htm

Stefanie Tränkle, The Tension between Judicial Control and Autonomy in Victim-Offender Media-tion - a Microsociological Study of a Paradoxical Procedure Based on Examples of the Mediation Process in Germany and France, http://www. iuscrim.mpg.de/forsch/krim/traenkle_ e.html.
Marwan effendi, Teori Hukum DariPerspektif Kebijakan, Perbandingan, dan Harmonisasi Hukum Pidana, Referensi ( gabung persada press group ), 2014
Moeljatno, Asas – asas hokum pidana, Rineka Cipta, Jakarta.,1993
Andi Hamzah, Asas – asas hokum pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1994



[1] Moeljatno, Asas – asas hokum pidana, Rineka Cipta, Jakarta.,1993,Hal.1. Lihat pula Andi Hamzah, Asas – asas hokum pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1994,Hal 4.
[2] Marwan effendi, Teori Hukum DariPerspektif Kebijakan, Perbandingan, dan Harmonisasi Hukum Pidana, Referensi ( gabung persada press group ), 2014, hal. 136.
[3] Ibid.hal . 139
[4] Ibid, hal 139
[5] Ibid, Hal 141.
[6] Detlev Frehsee (Professor of Criminology and Criminal Law, University of Bielefeld, Germany), “Restitution and Offender-Victim Arrangement in German Criminal Law: Development and Theoretical Implications”, http://wings.buffalo.edu/law/ bclc/bclr.htm

[7] Stefanie Tränkle, The Tension between Judicial Control and Autonomy in Victim-Offender Media-tion - a Microsociological Study of a Paradoxical Procedure Based on Examples of the Mediation Process in Germany and France, http://www. iuscrim.mpg.de/forsch/krim/traenkle_ e.html.
[8] Annemieke Wolthuis, Will Mediation in Penal Matters be mandatory? The Impact of International Standards, fp.enter.net/restorativepractices/MediationMandatory
[9] Tercantum dalam dolumen E/2002/INF/2/Add.2, international-research-project-report2 (sbr.: internet); lihat juga Annemieke, ibid.
[10] Op. Cit., Mahfud MD, hlm. 368
[11] Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, Rangkang Education, Yogyakarta, 2010, hlm. 70
[12] Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm. xiii
[13] Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2010, Hal. 29
[14] Ridwan Mansyur, Mediasi Penal Terhadap Perkara KDRT, Yayasan Gema Yustisia Indonesia, Jakarta, 2010, Hal. 166



Tidak ada komentar:

Posting Komentar