BAB
I
PENDAHULUAN
1. LATAR
BELAKANG
Penegakan hukum selalu
melibatkan manusia di dalamnya dan melibatkan juga tingkah laku manusia. Hokum
tidak dapat tegak dengan sendirinya, artinya hokum tidak mampu mewujudkan
sendiri janji – janji serta kehendak – kehendaknya yang tercantum dalam
peraturan hokum. Hokum dibuat untuk dilaksanakan, hokum tidak dapat lagi
disebut sebagai hokum apabila hokum tidak pernah dilaksanakan. Oleh karena itu,
hokum dapat disebut dengan konsisten dengan pengertian hokum sebagai sesuatu
yang harus dilaksanakan.
Penegakan hokum
merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan nilai, ide, cita yang cukup
abstrak yang mnejadi tujuan hokum. Tujuan hokum atau cita hokum memuat nilai –
nilai moral, seperti keadilan dan kebenaran. Nilai – nilai tersebut harus
mampudiwujudkan dalam realitas nyata. Eksistensi hokum diakui apabila nilai –
nilai moral yang terkandung didalamnya mampu diimplementasikan.
Penegakan hokum sebagai
sarana untuk mencapai tujuan hokum, maka sudah semestinya seluruh energy
dikerahkan agar hokum mampu bekerja untuk mewujudkan nilai – nilai moral dalam
hokum. Kegagalan hokum untuk mewujudkan nilai hokum tersebut merupakan ancaman
bahaya akan merosotnya eksistensi hokum yang ada. Masalah penegakan hokum
merupakan masalah yang tidak sederhana bukan saja karena kompleksitas sistem
hokum itu sendiri, tetapi juga rumitnya jalinan hubungan hokum dengan social,
politik, ekonomi, budaya yang hidup didalam masyarakat saat ini.
Penegakan hokum pada
hakikatnya mengandung supremasi nilai substansial, yaitu keadilan. Namun
semenjak hokum modern digunakan, pengadilan bukan lagi tempat untuk mencari
keadilan ( searching of justice ). Pengadilan hanya menjadi tempat yang
berkutat dengan aturan main dan prosedur, begitu lembaga kepolisian, hokum
tidak lagi dapat menyediakan keadilan yang menjadi cita – cita dari tujuan
hokum selama ini.
Keadilan telah mati
dibawah hokum modern yang ada, hokum hanya dipahami sebagai produk Negara yang
harus dipatuhi yang dibuat dalam bentuk peraturan – peraturan, terlebih dalam
hokum pidana, setiap tindakan pelanggaran hokum selalu memiliki sanksi yang
tertulis didalam perundang – undangan.
Dalam masyarakat,
selalu terjadi interaksi satu dengan yang lainnya, kehidupan bersama itu perlu
adanya aturan yang mengatur interaksi tersebut, agar hubungan interaksi tidak
merugikan satu dan yang lainnya, untuk itu perlu adanya aturan hokum. Manusia
selalu berusaha untuk meciptakan suasana tertib, aman dan damai. Oleh karena
itu keseimbangan yang terganggu tersebut segera dipulihkan dan diselesaikan
dengan prosedur hokum.
Sehubungan dengan
konflik dan gangguan yang terjadi dalam kehidupan manusia tersebut, maka
penyelesaian harus dilakukan sesuai dengan prosedur hokum, namun dalam
kenyataan dilapangan hak itu tidaklah mudah untuk dilakukan dan dilaksanakan,
banyak kasus atau peristiwa hokum diselesaikan tidak sesuai dengan proses
hokum, terutama hokum pidana.
Hokum pidana merupakan sebagian daripada
keseluruhan hokum yang berlaku disuatu Negara yang mengatur dasar – dasar aturan
untuk :
1.
menentukan perbuatan mana yang tidak
boleh dilakukan, yang dilarang dengan
disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertantu bagi barang siapa
yang melanggar larangan tersebut.
2.
Menentukan kapan dan dalam hal – hal apa
kepada mereka yang melanggar larangan – larangan itu dapat dikenakan atau
dijatuhi pidana sebagaimana yang diancamkan.
3.
Menentukan dengan cara bagaiamana
pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan
apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.[1]
Meskipun berdasarkan
aturan hokum pidana yang hidup di Indonesia saat ini menganut asas legalitas
dan dalam penegakannya mengacu kepada hokum pidana formil yang telah ada,
penegakan hokum pidana yang sejalan dengan hokum pidana tidak mampu menjawab
tantangan zaman dan perkembangan social yang hidup didalam masyarakat saat ini.
Ketimpangan hokum
selalu menjadi isu hangat dalam penegakan hokum pidana dewasa ini, masyarakat
selalu mengeluhkan proses penegakan hokum yang hanya bertumpuh kepada aturan –
aturan yang ada dan terkadang merusak nilai – nilai keadilan menurut
masyarakat. Disamping sering ditemukan penegakan hokum yang tidak ada persamaan
perlakuan dimasyarakat oleh aparat penegak hokum, aparat penegak hokum juga
dinilai tidak mencerminkan nilai – nilai keadilan.
Sejalan dengan
perkembangan masyarakat dan terus terjadinya perubahan social, teknologi,
politik dan pendidikan, penegakan hokum diharapkan mampu diwujudkan dengan cara
– cara yang lebih manusiawi dan elegan serta bertumpuh kepada jati diri bangsa
Indonesia yaitu pancasila dan UUD 1945, dengan demikian maka tujuan hokum untuk
memberikan rasa adil dan kepastian hokum serta keamanan, ketertiban dan
kedamaian mampu diwujudkan.
Mediasi penal ( mediasi
pidana ) dapat menjadi sebuah alternative penyelesaian kasus hokum / perkara
pidana yang terjadi, meskipun secara eksplisit hokum pidana Indonesia tidak
mengenal atau tidak menganut sistem mediasi, dan juga tidak adanya aturan hokum
yang mengatur adanya mediasi pidana saat ini, hal itu seharusnya bukanlah suatu
permasalahan yang menjadi alas an tidak dikedepankannya mediasi yang menganut
cara – cara musyawarah dalam penyelesaian perkara pidana.
Jika kita menyimak
kembali nilai – nilai moral yang terkadung dalam pancasila, maka kita akan
memahami bahwa sesuai dengan nilai – nilai moral yang terkandung didalamnya
kita memiliki sebuah cirri khas yaitu musyawarah dan mufakat.
Pancasila sebagai dasar /pedoman serta
pandangan hidup bangsa sudah seharusnya menjadi pijakan bersama dalam melakukan
segala hal, begitu juga dengan penegakan hokum didalam hokum pidana Indonesia.
Mediasi penal menurut
barda nawawi arief merupakan salah satu bentuk alternative penyelesaian
sengketa diluar pengadilan berupa ADR atau yang dikenal dengan istilah
“alternative dispute resolution” atau dalam perdata disebut “ out of court
settlement. Mediasi penal law merupakan “the Thir way “ atau “Third path” dalam
upaya “ Crime control and the criminal justice system” yang digunakan beberapa
Negara.[2]
ADR memang pada umumnya digunakan pada
kasus – kasus hokum perdata, tidak untuk kasus 0 kasus hokum pidana.
Berdasarkan perundang – undangan yang berlaku di Indonesia saat ini ( hokum
Positif ) pada prinsipnya kasus pidana tidak dapat diselesaikan di luar
pengadilan walaupun dalam hal – hal tertentu dimungkinkan adanya penyelesaian
kasus pidana diluar pengadilan.
Berdasarakan uraian
diatas penulis mengambil penelitian dan membuat makalah dengan judul “MEDIASI
PENAL SEBAGAI PROGRESIFITAS ( LANGKAH MAJU ) DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA”.
2. RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan latar
belakang yang telah diuraikan diatas penulis merumuskan permasalahan yang akan
dikaji antara lain :
1.
APAKAH MEDIASI PENAL SESUAI DENGAN
PANDANGAN HUKUM PROGRESIF DALAM HUKUM PIDANA.
2.
MEDIASI PENAL SEBAGAI PROGRESIFITAS (
LANGKAH MAJU ) DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Mediasi Penal Dan Pandangan Hukum
Progresif Dalam Hukum Pidana Indonesia
Masalah mediasi dalam
perkara pidana sudah masuk dalam agenda pembahasan di tingkat international,
yaitu dalam kongres PBB ke 9 tahun 1995 dan ke 10 tahun 2000 mengenai
“Prevention Of Crime And Treatment Of Offenders” dan dalam konferensi
international pembaharuan hokum pidana ( International Penal Law Reform
Conference ) tahun 1999.[3]
Adapun latar belajang
pemikirannya menurut barda nawawi arief ada yang dikaitkan dengan ide – ide
pembaharuan hokum pidana ( Penal Reform ) antara lain meliputi ide perlindungan
korban, ide harmonisasi, ide restorative justice, ide mengatasi kekakuan dalam
sistem yang berlaku dan menghindari efek negatif dari sistem peradilan pidana.[4]
Selain itu ada yang dikaitkan dengan
masalah pragmatisme, antara lain untuk mengurangi stagnasi atau penumpukan
perkara untuk penyederhanaan proses peradilan.
a.
Pengaturan mediasi penal di Indonesia
Pada dasarnya hukum
positif di Indonesia, ADR hanya dimungkinkan dalam perkara perdata ( Pasal 6 UU
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase and Alternative Penyelesaian Sengketa ).
Dan untuk perkara pidana pada prinsipnya tidak dapat diselesaikan di luar
pengadilan, walaupun dalam hal – hal tertentu dimungkinkan adanya penyelesaian
perkara pidana diluar pengadilan.[5]
Walaupun pada umumnya
penyelesaian sengketa di luar pengadilan hanya ada dalam sengketa perdata,
namun dalam praktek sering juga kasus pidana diselesai-kan di luar pengadilan
melalui berbagai diskresi aparat penegak hukum atau melalui mekanisme
musyawarah/perdamaian atau lembaga permaafan yang ada di dalam ma-syarakat (musyawarah
keluarga; musya-warah desa; musyawarah adat dsb.). Praktek penyelesaian perkara
pidana di luar pengadilan selama ini tidak ada landasan hukum formalnya,
sehingga sering terjadi suatu kasus yang secara informal telah ada penyelesaian
damai (walaupun melalui mekanisme hukum adat), namun tetap saja diproses ke
pengadilan sesuai hukum yang berlaku.
Dalam perkembangan
wacana teoritik mau-pun perkembangan pembaharuan hukum pidana di berbagai
negara, ada kecende-rungan kuat untuk menggunakan mediasi pidana/penal sebagai
salah satu alternatif penyelesaian masalah di bidang hukum pidana. Menurut
Prof. Detlev Frehsee, meningkatnya penggunaan restitusi dalam proses pidana
menunjukkan, bahwa perbe-daan antara hukum pidana dan perdata tidak begitu
besar dan perbedaan itu menjadi tidak berfungsi [6].
1.
Mediasi
pidana yang dikembangkan itu ber-tolak dari ide dan prinsip kerja (working principles) sebagai berikut : [7]
a.
Penanganan
konflik (Conflict Handling/
Konfliktbearbeitung):
Tugas mediator adalah membuat para pihak melupakan kerangka hukum dan
mendorong mereka terlibat dalam proses komunikasi. Hal ini didasarkan pada ide,
bahwa kejahatan telah menimbulkan konflik interpersonal. Konflik itulah yang dituju oleh proses
mediasi.
b.
Berorientasi
pada proses (Process
Orientation; Prozessorientierung):
Mediasi penal lebih berorientasi pada kualitas proses daripada hasil, yaitu
: menyadarkan pelaku tindak pidana akan kesalahannya, kebutuhan-kebutuhan
konflik terpecahkan, ketenangan korban dari rasa takut dsb.
c.
Proses informal (Informal
Proceeding - Informalität):
Mediasi penal merupakan suatu proses yang informal, tidak bersifat
birokra-tis, menghindari prosedur hukum yang ketat.
d.
Ada
partisipasi aktif dan otonom para pihak (Active and Autonomous Partici-pation -
Parteiautonomie/Subjektivie-rung)
Para pihak (pelaku dan korban) tidak dilihat sebagai objek dari prosedur hu-kum
pidana, tetapi lebih sebagai subjek yang mempunyai tanggungjawab pribadi dan
kemampuan untuk berbuat. Mereka
diharapkan berbuat atas kehendaknya sendiri.
b. Perkembangan Dan Latar Belakang Ide
Adr – Mediasi Penal
Ide atau wacana
dimasukkannya ADR dalam penyelesaian perkara pidana, antara lain terlihat dari
perkembangan sebagai berikut :
a.
Dalam
dokumen penunjang Kongres PBB ke-9/1995 yang berkaitan dengan manaje-men
peradilan pidana (yaitu dokumen A/CONF.169/6) diungkapkan perlunya se-mua
negara mempertimbangkan “priva-tizing some law enforcement and justice
functions” dan “alternative dispute resolu-tion/ADR” (berupa mediasi,
konsiliasi, res-titusi, dan kompensasi) dalam sistem per-adilan pidana.
Khususnya mengenai ADR, dikemukakan dalam dokumen itu sbb. :
“The
techniques of mediation, consi-liation and arbitration, which have been
developed in the civil law environment, may well be more widely applicable
in criminal law. For example, it is possible that some of the serious
problems that complex and lengthy cases involving fraud and white-collar crime
pose for courts could by reduced, if not entirely eliminated, by applying
principles deve-loped in conciliation and arbitration hearings. In particular,
if the accused is a corporation or
business entity rather than an individual person, the funda-mental aim of the
court hearing must be not 21to impose punishment but to achieve an outcome that
is in the interest of society as a whole and to reduce the probability of
recidivism”.
Menurut
kutipan di atas, ADR yang telah dikembangkan dalam lingkungan hukum perdata,
seyogyanya juga dapat diterapkan secara luas di bidang hukum pidana. Dicon-tohkan
misalnya, untuk perkara-perkara pidana yang mengandung unsur “fraud” dan “white collar-crime” atau apabila
terdak-wanya adalah korporasi/badan usaha. Ditegaskan pula, bahwa apabila
terdakwa-nya adalah korporasi/badan usaha, maka tujuan utama dari pemeriksaan
pengadilan seharusnya tidaklah menjatuhkan pidana, tetapi mencapai suatu hasil
yang berman-faat bagi kepentingan masyarakat secara menyeluruh dan mengurangi
kemungkinan terjadinya pengulangan (recidive).
b. Dalam laporan Kongres PBB ke-9/1995
tentang “The Prevention of Crime and the
Treatment of Offenders” (dokumen A/CONF. 169/16), antara lain dikemukakan :
- untuk mengatasi problem kelebihan mu-atan
(penumpukan perkara) di penga-dilan, para peserta kongres mene-kankan pada
upaya pelepasan bersya-rat, mediasi,
restitusi, dan kompensasi, khususnya untuk pelaku pemula dan pelaku muda (dalam
laporan No.112);
- Ms. Toulemonde (Menteri Kehakiman
Perancis) mengemukakan “mediasi penal”
(penal mediation) sebagai suatu
alternatif penuntutan yang memberikan kemungkinan penyelesaian negosiasi antara
pelaku tindak pidana dengan korban. (dalam laporan No. 319);
c. Dalam ”International Penal Reform Confe-rence” yang diselenggarakan di
Royal Holloway College, University of London, pada tanggal 13-17 April 1999
dikemu-kakan, bahwa salah satu unsur kunci dari agenda baru pembaharuan hukum
pidana (the key elements of a new agenda
for penal reform) ialah perlunya memperkaya sistem peradilan formal dengan
sistem atau mekanisme informal dalam
penyelesaian sengketa yang sesuai dengan standar-standar hak asasi manusia (the need to enrich the formal judicial
system with informal, locally based, dispute resolution mechanisms which meet
human rights standards).
Konferensi ini juga
mengidentifikasikan sembilan strategi pengembangan dalam melakukan pembaharuan
hukum pidana, yaitu mengembangkan/ membangun :
1. Restorative
justice
2.
Alternative
dispute resolution
3.
Informal
justice
4. Alternatives to Custody
5.
Alternative
ways of dealing with juveniles
6.
Dealing
with Violent Crime
7.
Reducing the prison population
8.
The Proper Management of Prisons
9.
The
role of civil society in penal reform
d. Pada 15 September 1999, Komisi Para
Menteri Dewan Eropa (the
Committee of Ministers of the Council of Europe )
telah menerima Re-commendation No. R (99) 19 tentang “Mediation in Penal Matters”.
e.
Dalam
Deklarasi Wina, Kongres PBB ke-10/2000 (dokumen A/CONF. 187/4/Rev.3), antara
lain dikemukakan bahwa untuk memberikan perlindungan kepada korban kejahatan,
hendaknya diintrodusir mekanis-me mediasi dan peradilan restoratif (resto-rative justice).
f.
Pada
15 Maret 2001, Uni Eropa membuat the
EU Council Framework Decision ten-tang “kedudukan korban di dalam
proses pidana” (the Standing of Victims
in Criminal Proceedings) - EU
(2001/220/JBZ) yang di dalamnya termasuk juga masalah mediasi. Pasal 1 (e) dari
Framework Decision ini mendefinisikan “mediation in criminal cases” sebagai
: ‘the search prior to or during
criminal proceedings, for a nego-tiated solution between the victim and the
author of the offence, mediated by a com-petent person’. Pasal 10-nya menyatakan,
setiap negara anggota akan berusaha “to promote mediation in criminal cases
for offences which it considers appropriate for this sort of measure”. Walaupun
Pasal 10 ini terkesan hanya memberi dorongan (encouragement), namun
menurut Anne-mieke Wolthuis [8],
berdasarkan penjelasan di dalam website Uni Eropa, negara anggota wajib mengubah UU dan hukum acara pidananya, antara
lain mengenai “the right to mediation”.
g. Pada
tanggal 24 Juli 2002, Ecosoc (PBB) telah menerima Resolusi 2002/12 mengenai “Basic
Principles on the Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters” yang
di dalamnya juga mencakup masalah mediasi.[9]
b. Teori
Hukum Progresif ( SATJIPTO RAHARDJO )
Teori
hukum progresif Satjipto Rahardjo berawal dari kegelisahannya, bahwa setelah 60
tahun usia Negara Hukum. Terbukti tidak kunjung mewujudkan suatu kehidupan
hukum yang lebih baik. Dengan keprihatinannya ia berkata “ Saya merasakan suatu
kegelisahan sesudah merenungkan lebih dari enam puluh tahun usia Negara Hukum
Republik Indonesia. Berbagai rencana nasional telah dibuat untuk mengembangkan
hukum di negeri ini, tetapi tidak juga memberikan hasil yang memuaskan, bahkan
grafik menunjukan telah terjadi tren yang menurun, Orang tidak berbicara tentang kehidupan hukum
yang makin bersinar, melainkan sebaliknya, kehidupan hukum makin suram”.
Bertolak
dari kenyataan pahit mengenai kehidupan dan peranan hukum yang ia konstatir
maka muncullah keinginan untuk kembali kepada fundamental hukum di negeri ini.
Bahkan almarhum memikirkan tentang kemungkinan adanya kekeliruan atau kekurangtepatan dalam memahami ( Understanding) fundamental hukum
tersebut sehingga almarhum menegaskan adanya perkembangan hukum tidak dapat
diarahkan kepada yang benar.
Inti
dari pernyataan satjipto rahardjo diatas adalah bahwa hukum dalam kenyataan
sesungguhnya merupakan perilaku yang dicontohkannya dengan kasus Millie Simpson
dan kisah sepucuk surat orang jepang kepada sesama kawan bisnisnya orang
Indonesia.
Padangan
satjipto rahardjo mengenai karakteristik dan fungsi serta peranan hukum dalam
pembangunan oleh satjipto rahardjo dibedakan dalam dua hal yaitu, Pertama , hukum selalu ditempatkan
untuk mencari landasan pengesahan atau suatu tindakan yang memegang teguh cirri
procedural dari dasar hukum dan dasar peraturan. Karakteristik Kedua hukum dalam pembangunan adalah
sifat instrumental yang dipandang oleh satjipto telah mengalami pertukaran
dengan kekuatan – kekuatan diluar hukum sehingga hukum menjadi saluran untuk
menjalankan keputusan politik atau menurut beliau, hukum sebagai sarana perekayasaan
social. Satjipto rahardjo telah merinci hal tersebut sebagai berikut :
1. Hukum
ditujukan untuk memantapkan dan mengamankan pelaksanaan pembangunan dan hasil –
hasilnya.
2. Hukum
memberikan dukungan dan pengarahan kepada upaya pembangunan untuk mencapai kemakmuran
untuk mencapai kemakmuran yang adil dan merata.
3. Hukum
menumbuhkan dan mengembangkan disiplin nasional dan rasa tanggung jawab social
pada setiap anggota masyarakat.
4. Hukum
menciptakan iklim dan lingkungan yang mendorong kreativitas dan partisipasi
masyarakat dalam pembangunan serta mendukung stabilitas nasional yang sehat dan
dinamis.
Pendapat
Satjipto Rahardjo tentang hukum sebagai suatu sarana perekayasa social juga
merupakan Fungsi dan peranan hukum sebagai sarana rekayasa birokrasi.
Pandangan
teori hukum progresif menurut Satjipto Rahardjo merupakan suatu penjelajahan
suatu gagasan yang berintikan 9 ( Sembilan ) pokok pikiran sebagai berikut :
1. Hukum
menolak tradisi analytical jurisprudence
atau rechtdogmatick dan berbagai paham dengan aliran seperti legal realism, freirechtslehre, sociological jurisprudence, interressenjurispridenz
di jerman, teori hukum alam dan critical
legal studies.
2. Hukum
menolak pendapat bahwa ketertiban ( order
) hanya bekerja melalui institusi – institusi kenegaraan.
3. Hukum
progresif ditujukan untuk melindungi rakyat menuju kepada ideal hukum.
4. Hukum
menolak status quo serta tidak ingin
menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan suatu
institusi yang bermoral.
5. Hukum
adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan
yang adil, sejahtera, dan membuat manusia bahagia.
6. Hukum
progresif adalah “hukum yang pro rakyat”
dan “ hukum yang pro keadilan”.
7. Asumsi
dasar hukum progresif adalah bahwa “ hukum adalah untuk manusia”, bukan
sebaliknya. Berkaitan dengan hal tersebut, maka hukum tidak ada untuk dirinya
sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan besar. Maka setiap kali
ada masalah dalam dan dengan hukum, hukumlah yang ditinjau dan diperbaiki,
bukan manusia yang dipaksakan untuk dimasukan kedalam sistem hukum.”
8. Hukum
bukan merupakan suatu institusi yang absolute
dan final, melainkan sangat
bergantung pada bagaimana manusia melihat dan menggunakannya. Manusialah yang
merupakan penentu.
9. Hukum
selalu berada dalam proses untuk terus menerus menjadi ( Law as a process, law in the making ).
Kesembilan
pokok pemikiran teori hukum progresif diatas, jika dibandingkan dengan kelima
pokok
pemikiran teori hukum pembangunan, tampak persamaan dan perbedaannya. Merujuk
pada keempat wujud konkrit peranan hukum dalam pembangunan oleh mochtar dan
satjipto, semakin jelas bahwa kedua ahli hukum tersebut memiliki titik
persamaan yaitu menghendaki agar hukum memiliki peranan jauh kedepan yaitu
memberikan arah dan dorongan perkembangan masyarakat agar tercapai masyarakat
yangtertib, adil, dan sejahtera. Peranan hukum bukan sekedar sebagai alat ( tools ) melainkan harus dipahami sebagai
sarana ( dinamis ) untuk mencapai
kemajuan peradaban masyarakat.
Pandangan
kedua ahli hukum mengenai teori hukum tersebut tidak berhenti pada hukum
sebagai sistem norma ( system of norms
) yang hanya bersandar pada “ rules and
logic” saja melainkan juga hukum sebagai sistem perilaku ( behavior system ). Kesamaan teori hukum
pembangunan dan teori hukum progresif
terletak pada fungsi dan peranan hukum dalam bekerjanya hukum
dihubungkan dengan pendidikan hukum.
Satjipto
Rahardjo beranjak dari pemikiran bahwa kenyataan dan pengalaman tidak
bekerjanya hukum sebagai suatu sistem perilaku, dan bahwa kepentingan menusia,
maka hukum tidak dapat memaksakan ketertiban kepada manusia, sebaliknya hukum
yang harus ditinjau kembali dan menambahkan bahwa hukum untuk manusia bukan
sebaliknya serta hukum dijalankan dengan nurani.
Serta
model pemeranan hukum sedemikian dikhawatirkan menghasilkan “dark engineering” jika tidak disertai
dengan hati nurani ( manusia ) penegak hukumnya.
Secara
teoritis Teori hukum progresif mendasarkan pada teori hukum yang sama yaitu Sociological jurisprudence ( Roscoe
Pound ) dan pragmatic legal realism (
Eugen Erlich). Namun diperkuat dengan pengaruh aliran studi hukum kritis ( critical legal studies ) yang cenderung
apriori terhadap segala keadaan dan bersikap “anti-foundationalism” teori hukum ini tidak meyakini keberhasilan
aliran “analytical jurisprudence” (
Austin ) dalam penegakan hukum.
Berbeda
dengan teori hukum pembangunan dan pandangan Pound tentang “ Law as social engineering”, pandangan
teori hukum progresif tidak secara spesifik membahas pembaharuan hukum.
Sehingga
sampai saat ini tidak jelas arah tujuan pembaharuan hukum yang hendak dicapai
melalui teori hukum progresif, kecuali asumsi dasar yang dibangun sebagaimana
yang di uraikan :
“hukum adalah untuk manusia, maka hukum bukan
untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan lebih besar
setiap kali ada masalah dalam dan dengan hukum, hukumlah yang ditinjau dan
diperbaiki bukan manusia yang dipaksakan untuk dimasukan ke dalam sistem hukum”.
Pandangan
satjipto memiliki makna yang sangat dalam dan kuat pengaruh filsafati
kemanusiaan dan pandangan ini hanya mendapat tempatnya dalam bekerjanya hukum.,
yang dijalankan oleh penegak hukum yang mumpuni., baik dari sudut filsafat,
substansi hukum dan memang struktur kekuasaan kehakiman yang dianut mendukung
kearah adagium hukum satjipto rahardjo, “ Hukum dibuat untuk manusia bukan sebaliknya”
c.
Landasan Konseptual hukum progresif
Studi hubungan antara konfgurasi politik dan
karakter produk hukum menghasilkan tesis bahwa setiap produk hukum merupakan
percerminan dari konfigurasi politik yang melahirkannya. Artinya setiap muatan
produk hukum akan sangat ditentukan oleh visi kelompok dominan (Penguasa). Oleh
karena itu, setiap upaya melahirkan hukum-hukum yang berkarakter
responsif/populistik harus dimulai dari upaya demokratisasi dalam kehidupan
politik.[10]
Kehadiran hukum
progresif bukanlah sesuatu yang kebetulan, bukan sesuatu yang lahir tanpa
sebab, dan juga bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Hukum progresif adalah
bagian dari proses pencarian kebenaran (searching for the truth) yang
tidak pernah berhenti. Hukum progresif yang dapat dipandang sebagai konsep yang
sedang mencari jati diri, bertolak dari realitas empirik tentang bekerjanya
hukum dimasyarakat, berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan
kualitas penegakan hukum dalam setting Indonesia akhir abad ke-20.
Adalah keprihatinan Satjipti
Rahardjo terhadap keadaan hukum di Indonesia. Para pengamat hukum dengan jelas
mengatakan bahwa kondisi penegakan hukum di Indonesia sangat memprihatinkan.
Pada tahun 1970-an sudah ada istilah “mafia peradilan” dalam kosakata hukum di
Indonesia, pada orde baru hukum sudah bergeser dari social engineering
ke dark engineering karena digunakan untuk mempertahankan kekuasaan.
Pada era reformasi dunia hukum makin mengalami komersialisasi. Menurut Satjipto
Rahardjo, inti dari kemunduran diatas adalah makin langkanya kejujuran, empati
dan dedikasi dalam menjalankan hukum, kemudia Satjipto Rahardjo mengajukan
pertanyaan, apa yang salah dengan hukum kita? Bagaimana jalan untuk
mengatasinya?.[11]
Agenda besar gagasan hukum progrsif
adalah menempatkan manusia sebagai sentralitas utama dari seluruh perbincangan
mengenai hukum. Dengan kebijaksanaan hukum progresif mengajak untuk
memperhatikan faktor perilaku manusia. Oleh karena itu, hukum progresif
menempatkan perpaduan antara faktor peraturan dan perilaku penegak hukum
didalam masyarakat. Disinilah arti penting pemahaman gagasan hukum progesif,
bahwa konsep “hukum terbaik” mesti diletakkan dalam konteks keterpaduan yang
bersifat utuh (holistik) dalam memahami problem-problem kemanusiaan.
Dengan
demikian, gagasan hukum progresif tidak semata-mata hanya memahami sistem hukum
pada sifat yang dogmatic, selain itu juga aspek perilaku sosial pada sifat yang
empirik. Sehingga diharapkan melihat problem kemanusiaan secara utuh
berorientasi keadilan substantive
Hukum
Progresif memecahkan kebuntuan itu. Dia menuntut keberanian aparat hukum
menafsirkan pasal untuk memperadabkan bangsa. Apabila proses tersebut benar,
idealitas yang dibangun dalam penegakan hukum di Indonesia sejajar dengan upaya bangsa mencapai tujuan
bersama. Idealitas itu akan menjauhkan dari praktek ketimpangan hukum yang tak
terkendali seperti sekarang ini. Sehingga Indonesia dimasa depan tidak ada lagi
dskriminasi hukum, bagi kaum papa karena hukum tak hanya melayani kaum kaya.
Apabila kesetaraan didepan hukum tak bisa diwujudkan, keberpihakan itu mutlak.
Manusia menciptakan hukum bukan hanya untuk kepastian, tetapi juga untuk
kebahagiaan.
Menurut Satjipto Rahardjo,
Penegakan hukum progresif adalah menjalankan hukum tidak hanya sekedar
kata-kata hitam-putih dari peraturan (according to the letter),
melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to very meaning) dari
undang-undang atau hukum. Penegakan hukum tidak hanya kecerdasan intelektual,
melainkan dengan kecerdasan spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum yang
dilakukan dengan penuh determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap
penderitaan bangsa dan disertai keberanian untuk mencari jalan lain daripada
yang biasa dilakukan.[12]
Hukum progresif memandang
bahwa hukum itu untuk manusia. Jadi hukum untuk membahagiakan manusia, hukum
untuk mengabdi untuk kepentingan manusia. Bukan manusia untuk hukum. Tetapi
akademisi hukum, Sidharta, mengatakan Prof. Satjipto terutama pada
tahun-tahun akhir hayatnya menyinggung apa yang disebut deep
ecology. Konsep ini mengandung arti bahwa hukum bukan lagi semata untuk
manusia, tetapi untuk untuk membahagiakan semua makhluk hidup. “Itu berarti
hukum untuk semua mahluk hidup,”
2.
Mediasi Penal Sebagai Langkah Maju Hukum Pidana Indonesia
Pembaruan
hokum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena memang pada
hakikatnya ia hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan ( bagian dari
politik hokum, penegakan hokum , politik hokum pidana, politik criminal, dan
politik social ). Pembaruan hokum pidana juga harus berorientasi kepada nilai –
nilai yang hidup didalam bangsa dan negara indonesia[13].
Salah
satu yang harus menjadi agenda dalam pembaruan hokum pidana adalah regulasi
yang mampu memberikan ruang secara eksplisit bagi mediasi penal sebagai
instrument dalam kebijakan penegakan hokum pidana di Indonesia, mediasi penal
merupakan salah satu bentuk semangat progresif dalam hokum pidana yang dapat
menjadi langkah dalam penyelesaian perkara – perkara pidana. Namun memang butuh
sebuah kajian yang komprehensif untuk penerapannya dalam penanganan perkara
pidana yang seperti apa yang dapat ditempuh melalui jalur mediasi sebagai
penyelesaian perkara pidana tersebut.
Pada
kenyataannya mediasi sebenarnya dapat dijalankan dalam sistem peradilan hokum
pidana, hal ini juga telah diberlakukan dibeberapa Negara, antara lain :
Austria, Jerman, Belgia, Perancis, Polandia, Slovenia, Canada, Amerika Serikat,
Norwegia, Denmark, dan Finlandia.[14]
Hukum
yang progresif tidak menerima hokum sebagai institusi yang mutlak dan final,
melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada
manusia.dalam konteks itulah hokum hokum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi atau berkembang.
BAB
III
KESIMPULAN
Hukum
yang Progresif memiliki pemikiran yang tidak tekstual semata namun juga
kontekstual, dalam pemikiran hokum progresif lebih mengarah pada kemanfaatan
dan terciptanya rasa adil ditengah – tengah masyarakat. Pemikiran progresif
dalam hokum juga mampu melahirkan ide – ide baru dalam rangka penegakan hokum
yang mengikuti perkembangan masyarakat dan sebuah Negara.
Mediasi
pidana ( medias penal ) merupakan langkah maju dalam hokum pidana, namun dalam
bingkai dan kerangka hokum pidana Indonesia hal ini masih menjadi sebuah hal
yang bisa dikatakan belum memiliki kekuatan hokum. Sebagai langkah maju dan
pembaruan hokum pidana serta pemikiran hokum progresif mediasi penal
sesungguhnya merupakan sebuah terobosan dalam hokum pidana Indonesia.
Mediasi
yang memiliki nilai – nilai musyawarah dalam penyelesaian perkara sejalan
dengan apa yang terkandung dalam pendangan hidup bangsa Indonesia yaitu
pancasila, dan tidak menghilangkan nilai sebagai Negara hokum. Mediasi pidana
juga mampu memberikan solusi yang dapat diterima kedua belah pihak yang
berperkara nantinya dalam hokum pidana.
Pada
akhirnya penulis menyimpulkan pemberlakuan Mediasi Penal dalam sistem hokum
pidana Indonesia merupakan sejalan dengan progresifitas hukum dan hal ini juga
memiliki semangat yang sama dengan jati diri bangsa Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA.
Barda
Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2010
Ridwan
Mansyur, Mediasi Penal Terhadap Perkara KDRT, Yayasan Gema Yustisia Indonesia,
Jakarta, 2010
Satjipto
Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing,
Yogyakarta, 2009, hlm. xiii
Faisal,
Menerobos Positivisme Hukum, Rangkang Education, Yogyakarta, 2010
Annemieke Wolthuis, Will Mediation in Penal Matters be mandatory? The Impact of
International Standards, fp.enter.net/restorativepractices/MediationMandatory
Tercantum
dalam dolumen E/2002/INF/2/Add.2, international-research-project-report2 (sbr.:
internet)
Detlev
Frehsee (Professor of Criminology and Criminal Law, University of Bielefeld,
Germany), “Restitution and
Offender-Victim Arrangement in German Criminal Law: Development and Theoretical
Implications”, http://wings.buffalo.edu/law/ bclc/bclr.htm
Stefanie Tränkle, The Tension between Judicial
Control and Autonomy in Victim-Offender Media-tion - a Microsociological Study
of a Paradoxical Procedure Based on Examples of the Mediation Process in
Germany and France, http://www.
iuscrim.mpg.de/forsch/krim/traenkle_ e.html.
Marwan
effendi, Teori Hukum DariPerspektif Kebijakan, Perbandingan, dan Harmonisasi
Hukum Pidana, Referensi ( gabung persada press group ), 2014
Moeljatno,
Asas – asas hokum pidana, Rineka Cipta, Jakarta.,1993
Andi
Hamzah, Asas – asas hokum pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1994
[1]
Moeljatno, Asas – asas hokum pidana, Rineka Cipta, Jakarta.,1993,Hal.1. Lihat
pula Andi Hamzah, Asas – asas hokum pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1994,Hal 4.
[2]
Marwan effendi, Teori Hukum DariPerspektif Kebijakan, Perbandingan, dan
Harmonisasi Hukum Pidana, Referensi ( gabung persada press group ), 2014, hal.
136.
[3]
Ibid.hal . 139
[4]
Ibid, hal 139
[5]
Ibid, Hal 141.
[6]
Detlev Frehsee (Professor of
Criminology and Criminal Law, University
of Bielefeld , Germany ),
“Restitution and Offender-Victim
Arrangement in German Criminal Law: Development and Theoretical Implications”,
http://wings.buffalo.edu/law/ bclc/bclr.htm
[7] Stefanie Tränkle, The Tension between Judicial Control and
Autonomy in Victim-Offender Media-tion - a Microsociological Study of a
Paradoxical Procedure Based on Examples of the Mediation Process in Germany and
France, http://www. iuscrim.mpg.de/forsch/krim/traenkle_ e.html.
[8] Annemieke Wolthuis, Will Mediation in Penal Matters be
mandatory? The Impact of International Standards, fp.enter.net/restorativepractices/MediationMandatory
[9] Tercantum dalam dolumen E/2002/INF/2/Add.2, international-research-project-report2 (sbr.: internet); lihat juga
Annemieke, ibid.
[10] Op.
Cit., Mahfud MD, hlm. 368
[11] Faisal, Menerobos Positivisme
Hukum, Rangkang Education, Yogyakarta ,
2010, hlm. 70
[12] Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum
Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta ,
2009, hlm. xiii
[13]
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, Kencana Prenada Media Grup,
Jakarta, 2010, Hal. 29
[14]
Ridwan Mansyur, Mediasi Penal Terhadap Perkara KDRT, Yayasan Gema Yustisia
Indonesia, Jakarta, 2010, Hal. 166
Tidak ada komentar:
Posting Komentar